Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُ
وا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Terkait dengan ayat ada dua catatan yang perlu diketahui, antara ain :
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, ‘Bencana itu terjadi gara-gara ucapan lisan. Andai aku mengolok-olok seekor anjing tentu aku khawatir kalau aku diubah menjadi seekor anjing’ (Hasyiyah ash Showi ‘ala Tafsir al Jalalain 4/143, terbitan Dar al Fikr).
Hal ini diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ ».
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu karena Allahlah yang mengatur berjalannya waktu” (HR Muslim no 6003).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ».
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ ». قَالَ أَحْمَدُ مِنْ ذَنْبٍ قَدْ تَابَ مِنْهُ.
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ ».
wallahu'alam.......
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُ
وا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS al Hujurat:11).
Terkait dengan ayat ada dua catatan yang perlu diketahui, antara ain :
1. Jangan mencela dirimu sendiri, maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
2.
Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang
digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan
panggilan seperti hai fasik, hai kafir dan sebagainya.
Ahmad
ash Shawi al Maliki mengatakan, “Makna ayat adalah janganlah seorang
itu mengolok-olok yang lain karena boleh jadi pihak yang diolok-olok itu
lebih agung dan mulia dibandingkan pihak yang mengolok-olok. Ringkasnya
tidaklah pantas muslim mengolok-olok saudaranya seagama bahkan semua
makhluk ciptaan Allah. Boleh jadi yang diolok-olok itu hatinya lebih
ikhlas dan lebih bertakwa dibandingkan yang mengolok-olok.
Para salaf shalih sangat luar biasa dalam melaksanakan kandungan ayat ini.Abdullah bin Mas’ud mengatakan, ‘Bencana itu terjadi gara-gara ucapan lisan. Andai aku mengolok-olok seekor anjing tentu aku khawatir kalau aku diubah menjadi seekor anjing’ (Hasyiyah ash Showi ‘ala Tafsir al Jalalain 4/143, terbitan Dar al Fikr).
Syeikh
Abdurrahman as Sa’di mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan
tentang sebagian hak seorang mukmin dengan mukmin yang lain. Yaitu
janganlah sekelompok orang mengejek sekelompok yang lain baik dengan
kata-kata ataupun perbuatan yang mengandung makna merendahkan saudara
sesama muslim. Perbuatan ini terlarang dan hukumnya haram.
Perbuatan ini menunjukkan bahwa orang yang mengejek itu merasa kagum
dengan dirinya sendiri. Padahal boleh jadi pihak yang diejek itu malah
lebih baik dari pada pihak yang mengejek. Bahkan inilah realita yang
sering terjadi. Mengejek hanyalah dilakukan oleh orang yang hatinya
penuh dengan akhlak yang tercela dan hina serta kosong dari akhlak
mulia.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seorang itu dinilai jahat jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim” (HR Muslim dari Abu Hurairah)” [Taisir al Karim al Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan hal 953, terbitan Dar Ibnul Jauzi].
Syeikh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Jika telah diketahui bahwa
manusia itu bertingkat-tingkat. Di antaranya manusia itu
bertingkat-tingkat dalam masalah ilmu. Sebagian orang itu lebih berilmu
daripada yang lain dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu alat yang sangat
membantu untuk mengusai ilmu agama semisal ilmu-ilmu tentang bahasa
Arab sebagaimana nahwu, balaghah dan yang lainnya.
Manusia itu
juga bertingkat-tingkat dalam masalah rizki. Ada yang diberi rezki yang
melimpah. Ada pula yang diberi rezki pas-pasan.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam akhlak. Ada yang memiliki akhlak luhur dan mulia, ada pula yang tidak demikian.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah bentuk fisik. Ada yang fisiknya sempurna, ada juga yang tidak.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah status sosial. Ada yang status sosialnya tinggi, ada pula yang biasa-biasa saja.
Apakah seseorang diperbolehkan untuk mengejek orang yang lebih rendah dalam berbagai hal di atas?
Jawabannya adalah firman Allah di atas.
Jawabannya adalah firman Allah di atas.
Allah
memanggil kita dengan nama iman agar sebagian dari kita tidak mengejek
sebagian yang lain. Yang melebihkan sebagian orang atas yang lainnya
adalah Allah. Sehingga konsekuensi dari mengejek orang yang lebih rendah adalah mengejek takdir Allah.
Hal ini diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ ».
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu karena Allahlah yang mengatur berjalannya waktu” (HR Muslim no 6003).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Manusia menyakitiku. Manusia mencaci waktu padahal aku adalah pengatur waktu. Akulah yang memperjalankan malam dan siang” (HR Bukhari).
Mengapa
kita ejek orang yang lebih rendah dibandingkan kita dalam masalah ilmu
agama, harta, akhlak, kondisi fisik, status sosial, dan nasab? Bukankah
di samping Allahlah yang memberikan anugrah kepada kita, Dia juga yang
menakdirkannya untuk berada di bawah kita, dalam pandangan kita, dalam
banyak hal?
Mengapa Allah melarang kita mengejek orang lain?
Jawabannya
adalah betapa banyak orang yang pada saat ini mengejek orang lain,
dalam lain kesempatan menjadi bahan ejekan. Betapa banyak orang yang
saat ini pada posisi ‘berada’, esok hari berada pada posisi orang papa.
Ini adalah suatu hal yang bisa kita saksikan dalam realita.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ ». قَالَ أَحْمَدُ مِنْ ذَنْبٍ قَدْ تَابَ مِنْهُ.
Dari Muadz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa
saja yang mencela saudaranya sesama muslim karena sebab dosa yang
pernah dia lakukan maka orang yang mencela tersebut tidak akan mati
sampai melakukannya”.
Ahmad bin Mani’, salah seorang perawi hadits, “Yang dimasudkan adalah dosa yang pelakunya telah bertaubat darinya” (HR Tirmidzi no 2505 namun dinilai oleh al Albani sebagai hadits palsu).
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ ».
Dari Watsilah bin al Asqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
engkau menampakkan rasa gembira saat saudaramu sesama muslim menderita
kesusahan. Hal itu menjadi sebab Allah menyayanginya dan menimpakan
cobaan pada dirimu” (HR Tirmidzi no 2506. Hadits ini dinilai hasan gharib oleh Tirmidzi namun dinilai lemah oleh al Albani).
Adalah
kewajiban setiap orang untuk mempraktekkan adab yang telah Allah
ajarkan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 37-38, terbitan
Dar Tsuraya).
wallahu'alam.......